Mbakyu
Anjarwati
Mbakyu
adalah sebutan bagi perempuan yang lebih tua atau karena dianggap lebih tua.
Kakak kandung perempuan biasanya dipanggil mbakyu atau mbak saja
atau yu saja. Tradisi ini juga terjadi pada keluarga saya. Saya yang
terlahir sebagai anak bungsu dari delapan bersaudara yang mayoritas perempuan,
maka secara otomatis saya memiliki banyak mbakyu. Saya memanggil mereka
secara beragam. Ada yang saya panggil yu, ada pula yang saya panggil mbak.
Cara memanggil tersebut spontan, alami, tanpa direncanakan hingga saya
sendiri tidak tahu mengapa dengan kakak X saya memanggil mbak, dan
terhadap kakak Z saya memanggil yu. Semua berjalan sangat alami.
Salah satu kakak yang saya panggil Yu
adalah kakak ketiga. Nama aslinya menurut almarhum Bapak saya adalah Hajar,
tetapi karena di ijazah SD tertulis Anjarwati, maka nama tersebut yang akhirnya
disandangnya. Dalam keseharian saya memanggilnya Yu nJar. Sebutan tersebut
bagi saya terasa sangat ringan, alami, dan mengakrabkan. Yu nJar pun
terlihat demikian. Kami sama-sama menikmati dengan panggilan tersebut.
Enam dari delapan bersaudara. Yu nJar nomor tiga dari kanan
Kami kakak beradik, tetapi usia kami
terpaut sangat jauh, yaitu 20 tahun. Ketika
saya masih kecil, saya melihat sosok Yu nJar sebagai sosok yang sangat
pendiam. Dia sangat jarang bercengkerama dengan saya, adiknya. Berbicara dengan
saya bila dirasa benar-benar perlu. Kediaman dan ke-anteng-an Yu nJar
saat itu membuat saya sangat sungkan. Dia sangat nyungkani, dan
karena penilaian saya yang sedemikian membuat hubungan kami menjadi sangat
formal. Hubungan kami waktu itu saya rasakan layaknya guru dan murid,
yaitu hubungan yang berjarak.
Begitu
saya remaja, saya baru menyadari bahwa Yu nJar tidaklah seformal yang
saya kira. Dia ramah dengan caranya sendiri. Di balik sikap diam dan anteng dia
simpan sikap tanggung jawab, keramahan dan kehangatan yang ia kemas dengan
khas.
Sikap
tanggung jawab dia wujudkan dalam bentuk kerelaannya menyisihkan penghasilannya
untuk diserahkan kepada Ibuk untuk membantu keuangan keluarga. Ini bukan
perkara mudah karena selain gaji PNS waktu itu belum setinggi sekarang, juga Yu
nJar sendiri memiliki banyak kebutuhan. Meski demikian, bantuan bulanan
untuk Ibuk tidak pernah absen. Hanya pribadi yang hangat dan penuh empati yang
bisa berbagi dalam keadaan sempit.
Selain
itu, Yu nJar memiliki cara yang khas untuk menyayangi saya sebagai
adiknya. Salah satu kekhasan tersebut adalah begitu Yu nJar memiliki
putra putri, caranya memanggil saya berubah. Saya tidak lagi dipanggil nama
tanpa sebutan, tetapi saya dipanggil dengan sebutan bulik. Sebutan bulik ini secara konsisten dia
sebut untuk memanggil saya. Bulik Nur adalah panggilan untuk saya.
Juga, Yu
nJar memiliki cara tersendiri dalam menunjukkan kehangatannya
terhadap saya. Setiap saat saya berkunjung ke rumahnya, Yu nJar selalu
menemui saya dan menemani saya duduk. Tidak banyak cerita yang dia
ceritakan, tidak banyak pula pertanyaan yang dia lontarkan. Dia duduk dengan tenang sambil menyilakan saya
menikmati hidangan yang tersedia.
Bentuk kehangatan Yu nJar terhadap
saya: menemani saya duduk.
Kehangatan
lain yang Yu nJar tujukan ke saya adalah kesediannya hadir di acara
pernikahan Fatin, anak pertama saya, pada bulan Juli 2022. Dengan kondisi fisik
yang tidak terlalu prima, Yu nJar rela menempuh perjalanan dari Nganjuk
ke Malang hanya untuk mendampingi saya dalam pernikahan anak saya. Pengorbanannya
semakin membuat saya tersentuh karena Yu nJar sempat terjatuh dua kali di
rumah saya. Kondisi fisik yang kurang prima, capek karena perjalanan jauh, plus
situasi rumah yang belum dikenalnya mungkin menjadi penyebab jatuhnya mbakyu
saya yang satu ini. Sungguh, peristiwa tersebut sangat membekas dalam ingatan
saya.
Yu nJar (berdiri
kedua dari kiri) dalam pernikahan Fatin
Ketika
ingatan akan peristiwa jatuh tersebut masih lekat dalam pikiran, tiba-tiba saya
disentakkan oleh kabar bahwa Yu nJar wafat pada tanggal 24 Juni 2023,
sekitar pukul 19.00. Berita duka ini betul-betul membuat saya berduka. Kita
tahu bahwa setiap yang bernyawa pasti akan mati. Meski demikian, ketika kematian
tersebut menimpa orang dekat kita, kita pasti kelimpungan. Kita merasa belum
siap dan sering mempertanyakan kok cepat sekali. Itulah yang saya rasakan ketika berita
duka tersebut muncul di grup keluarga. Speechless. Tidak percaya.
Kematian
selalu tidak enak untuk dibicarakan karena kematian selalu diasosiakan dengan
kesendirian dan pertanggungjawaban. Datangnya kematian berarti perpisahan
dengan semua dan segala hal yang kita cintai. Pasangan, putra putri, handai
taulan, kerabat, mahasiswa, harta benda, jabatan, dan lain-lain harus kita
tinggalkan. Tinggallah kita sendiri, sebatang kara. Kesendirian bukanlah suatu
yang enak untuk dibayangkan. Selain kesendirian yang tidak mengenakkan,
pertanggunjawaban akan apa yang sudah kita lakukan menanti di pelupuk mata. Membayangkan mimbar pertanggungjawaban bukanlah hal yang menyenangkan.
Yu
nJar
telah sampai pada titik itu, dan kami harus dengan rela melepasnya. Panggilan
Allah terhadap Yu nJar menyadarkan saya bahwa kehidupan ini mirip
dengan perjalanan naik bus kota yang setiap saat bisa berhenti di halte. Setiap
penumpang bus kota sudah tahu di halte mana dia akan berhenti. Sebaliknya,
dalam kehidupan ini kita tahu bahwa pasti kita akan berhenti di satu titik,
tetapi kita tidak tahu di titik mana kita akan berhenti.
Akhirnya,
saya sampaikan selamat jalan, Yu nJar…. Doaku untukmu: semoga Allah
menerima semua kebaikanmu selama ini, mengampunimu atas semua salah khilaf, dan
menempatkanmu di tempat tertinggi, di sisi-Nya. Aku akan selalu ingat senyummu
yang khas, diam dan antengmu, panggilanmu untukku, pengabdianmu kepada Ibuk dan
Bapak, dan pengorbananmu dalam menghormati pernikahan putri pertamaku. Selamat jalan, Yu.......
Malang, 1
Juli 2023 M/13 Dzulhijjah 1444 H